TOXIC PEOPLE?
- Vanessa Astari
- Jan 11, 2020
- 7 min read
Hai! Kali ini gue akan membahas sesuatu yang sangat sensitif. Yang akhir-akhir ini sering dibahas di ruang opini publik seperti media sosial, yaitu tentang Toxic People.
Maybe you guys are wondering, what they look like?
Gue yakin setiap orang punya kriteria dan perspektif tersendiri terhadap orang-orang disekitarnya, apakah orang disekitar mereka tergolong toxic people atau bukan. Kenapa?
Karena keberadaan Toxic People itu menurut gue tergantung pad acara kita menanggapi suatu hal, pola pikir kita, dan ekspektasi interaksi sosial yang hidup di kepala kita selama ini.
Anyway, im not an expert di bidang komunikasi atau psikologi. So, feel free to discuss anything right here ya. Boleh setuju, boleh enggak. Tapi yang nggak boleh itu berdebat berkepanjangan. Ok? Deal?
From my perspective, toxic people adalah mereka yang mengganggu pikiran dan suasana hati gue. Wow, teralu multitafsir ya, statement gue barusan?
Oke, mari gue jelaskan dengan menggunakan contoh-contoh di kehidupan nyata yang gue alami sendiri.
1. Toxic People karena teralu bergantung ke orang lain.
Ini pernah terjadi pada gue semasa kuliah. Gue sendiri pernah jadi toxic people di point ini, dan sekaligus gue pernah menemukan toxic people di point ini yaitu teman gue. Well sekarang sudah strangers.
Intinya adalah, selama merantau memang kita harus membantu sesama, menolong sesama sebisa dan semampu kita. Tetapi, gue rasa setiap orang punya batasan masing-masing, dimana kita nggak bisa demanding dan depending berlebihan ke mereka. As human being, pasti kita semua punya rasa malas, pasti kita semua pernah ingin sendiri dan nggak ingin bicara atau nerima telepon dari siapapun. Kita harus bisa memahami sifat manusiawi tersebut. Terkadang dengan berlindung dibalik stigma “Loh, sesama perantau nggak boleh cuek dan malas menolong,” menjadikan kita lupa untuk apa kita merantau, lupa apa itu arti kata ‘mandiri’. Gue rasa menjadi orang yang serba ketergantungan akan menyulitkan diri sendiri di masa mendatang dan dalam dunia pekerjaan maupun rumah tangga.
Sehingga, saat gue pribadi sadar gue menjadi toxic bagi lingkungan gue karena teralu bergantung, gue mundur dari lingkungan tersebut dan introspeksi diri.
Nah bagaimana apabila gue yang menjadi korban toxic people itu sendiri? Apa yang harus gue lakukan? Jawabannya mudah; katakan, lalu kalau masih belum ada perubahan, maka tinggalkan. Say it first, then if they still remain the same, just cut it off.
Sometimes your ego needs to take the lead. Jangan lupa bahagia.
2. Toxic People karena keseringan share hal negatif lewat media sosial.
Jujur, ini gue sendiri terkadang masih menjadi orang di point ini.
Kita semua akan berada di point ini ketika ada sebuah emosi yang nggak punya wadah untuk ditumpahin, media sosial pun menjadi sasaran empuk. Entah Instagram, entah Twitter, entah Facebook.
Dulu saat masih awal kuliah, menurut gue sangat keren mengirimkan isyarat suasana hati di ruang publik. Apalagi kalau bukan untuk mendapat simpati dan empati dari teman-teman online sekaligus menyindir si dalang dari segala emosi ini? Selebihnya, jika ada yang berbaik hati mau meluangkan waktu untuk kasih nasihat atau respon membela, itu bonus. Sehingga sangat sering gue marah-marah atau bersedih ria di media sosial. Hal itu gue nikmati bertahun-tahun, sampai akhirnya ego gue gendut. Kebanyakan dikasih makan. Kemudian banyak masalah besar menghampiri, yang akhirnya membuat gue semakin banyak sedih dan marah. Enggak tahu sebenarnya apakah gue saat itu mulai benci diri gue sendiri atau tidak. Selain itu, percaya gak percaya, gue sudah menebar aura negtaif gue terhadap teman online. Bukannya jadi pengguna media sosial yang bijak, malah jadi pengguna media sosial yang labil. Suatu hari, gue sadar, kebiasaan buruk harus dilepas, meski sulit, tetapi perlahan dan pasti.
Sementara dari perspektif gue, teman-teman online sedikit banyak masih melakukannya, baik secara terbuka (share di main account atau ig story biasa) ataupun secara tertutup (share di fake account atau ig story dengan fitur close friend). Sebenarnya hak kepemilikan media sosial itu meliputi isi konten yang ingin ditampakkan juga. I get the point. Tetapi, yuk mari saling mengingatkan untuk nggak share hal negatif ke ruang publik lagi. Untuk melatih ego, melindungi diri dari lidah-lidah tajam netizen, dan nggak membuat temna online mu jadi ketularan emosimu yang seharusnya nggak mereka rasakan karena mereka juga punya emosi lain yang harus ditangani.
Menurut gue, soal emosi ini paling sulit, tetapi gue selalu yakin gue akan bisa memperbaikinya, jadi kalian juga harus yakin! Bisa dimulai dengan sharing perasaan kalian kepada teman terdekat yang kalian percaya, di ruang tertutup seperti chat WA/line/telepon/ketemu langsung, dengan begitu, tidak akan ada nyinyiran dan juga cecar jahat dari netizen terhadap perasaan atau masalah yang kalian hadapi.
Cara untuk menghadapi orang lain yang kita anggap toxic karena point nomor 3 ini mudah, nggak usah berdebat dengan mereka atau memutus pertemanan dengan mute/unfollow/block account mereka, cukup kita tutup mata dan telinga kita dari mereka. Kalau mereka share ig story, di skip. Dengan begitu, kita nggak perlu bermusuhan, hehehe.
You need to remember, that there would always be someone out there who wish they could be you. You are not the only one who have problems and suffering, because we all do. We all do, sweetheart.
3. Toxic People karena teralu sering mengkritik orang lain.
Nah ini nih!!!!!!!!!! Hehehe maaf agak ngegas, pemirsa.
Menurut gue, kita semua pasti melakukan kritik terhadap orang lain setiap harinya baik dalam keadaan sadar atau tidak sadar.
Itu hal wajar. Manusiawi banget.
Tapi gue rasa, ada kalanya kita harus menaruh rem diujung bibir dan jemari kita untuk nggak mudah melontarkan kritikan terhadap orang lain. Apabila kritikan kita membangun, sampaikan. Apabila hanya kritikan kosong dan dengan tujuan merendahkan, gue rasa lebih baik diam.
Gue pernah menghadapi orang seperti ini, oh, sering. Beberapa dari mereka selalu menganggap “kalau lo nggak kayak gue, lo nggak keren! lo payah, aneh, bikin ilfeel”
Nah, pemikiran seperti itu sebenarnya menurut gue yang membuat orang itu secara gak sadar telah menurunkan value mereka dibanding orang yang mereka anggap remeh. Padahal menurut gue, apapun yang orang lain sukai, apapun yang orang lain rasa benar, nggak masalah banget jika hal itu berbeda atau berbanding terbalik dari apa yang kita rasa benar. Hidup ini nggak diciptakan cuma buat kalian, dan bumi ini nggak cuma berputar buat kalian. Manusia di dunia ini pun nggak semuanya diciptakan dengan isi kepala dan hati yang sama kayak kalian. Paham?
Jadi, pahami perbedaan itu, sampaikan kritikan pada tempatnya. Sampaikan opini sindiran sampah kalian secara elegan dan jangan lupa, sebelum berkata, lebih baik bercermin. Gue rasa itu lebih baik. Kita nggak bisa bilang kita ini lebih baik dari mereka, nggak boleh. Ya, merekapun begitu, nggak punya hak untuk mengatakan hal yang sama.
Kita semua akan menjadi lebih baik apabila kita nggak merasa lebih baik dari orang lain. Kalau nggak suka sama cara orang itu melakukan sesuatu, langsung bicara lebih baik. Kalau nggak punya keberanian untuk bicara langsung, diam saja cukup dan abaikan apa yang dia lakukan. Kalaupun lo butuh menghilangkan mereka dari hidup lo, its okay if its temporary. Tapi suatu hari berjanjilah untuk berdamai dengan pikiran lo tentang mereka.
Gue pernah mengalami hal tersebut, gue dihakimi tiba-tiba oleh teman dekat gue sendiri, dengan cara yang kurang baik, dan mereka yang menghilangkan gue dari sight mereka. Gue sakit hati dan termakan ego saat itu, gue melakukan yang sama. Kemudian, setelah bertahun-tahun lamanya, kami berdamai. Seolah seperti teman lama yang terpisah jarak dan waktu, padahal lebih buruk dari itu, kami juga terpisah oleh pikiran negatif dan ego kami yang sudah obesitas.
Banyak yang belum berdamai dengan gue. Tapi nanti, akan ada saatnya, yang penting, harus stop kasih makan ego, biar dia kurus, habis dan lekang dimakan waktu.
Berdamailah dan maafkanlah, perlahan.
You can always win the battle if you choose to fight against others. But you cannot always win the battle if you choose to fight against yourself.
4. Toxic People karena dia/mereka adalah orang yang teralu kita sayang.
Kok bisa? Bisa banget. Banyak orang yang teralu kita sayang, lalu kita dengan mudah kasih akses mereka untuk tahu kelemahan kita, kemudian menyakiti kita dan kita beri kesempatan lagi untuk mereka. Kita nggak bisa menutup dan mengunci rumah untuk mereka, karena nggak sanggup lihat mereka kedinginan diluar.
Gue pernah dan sering berada di posisi ini. Yang pastinya, untuk sadar nggak semudah mengetik di web ini ya! Tetapi memang untuk bisa menghindar, kita harus punya keberanian dan keyakinan. Kalau kalian belum punya itu semua, nggak pa-pa, sabar. Nanti akan segera punya, saat waktunya sudah tepat.
Hal ini nggak hanya berlaku untuk romantic relationship, tetapi dalam pertemanan juga ya!
Karena ini pembahasannya teralu luas, gue akan memberi contoh kejadian nyata.
Gue pernah sayang sekali dengan teman gue, bukan sayang yang kayak ke pacar ya. Beneran sayang. Pasti kita semua gitu, gak sih?
Nah, karena teralu sayang, setiap gue tahu dia melakukan hal buruk, gue kasih tahu terus dan gue nggak kenal lelah. Sampai akhirnya gue tahu dia nggak sengaja membuat gue tahu bahwa dia terkadang mengambil keuntungan dari perhatian yang gue dan teman-teman berikan. Sampai terkadang kami semua nggak bisa tidur dan nggak bisa berhenti diskusi untuk menyelamatkan dia. Pada saat itulah gue merasa gue harus membatasi diri sebelum gue menganggap dia toxic, karena dia selalu hampir berhasil membuat gue merasa menjadi teman yang buruk. Gue nggak ingin punya rasa benci seperti seorang musuh. Kalaupun gue gak suka, cukup sampai disitu. Karena teralu sayang, gue membiarkan dia mengganggu pikiran terus. Dan gue sadar, gue juga punya kesehatan yang harus dijaga dan masalah yang harus dihadapi.
Selain itu, pernah juga sayang sekali dengan mantan-mantan gue. Kemudian beberapa kali gue membiarkan mantan-mantan gue mengulangi kesalahan yang sama, dan membuka pintu lagi. Menangis semalam suntuk, minta diberi pencerahan oleh teman, namun nggak ada yang gue praktikkan hehe. Gue seperti orang yang putus harapan bahwa masih ada orang baik diluar sana, dan selalu bersikeras gue bisa merubah orang lain dengan alibi rasa sayang. Well, mungkin kita memang sebaiknya bertahan dan mampu menerima pasangan kita apa adanya, tapi gue rasa, Tuhan nggak akan ngebiarin kita stay kalau memang orang itu bukan yang terbaik. Jadi, tunggulah saatnya kalian sadar kapan harus mengakhiri sebuah kisah yang kalian harap selalu berakhir indah, meski hanya sakit yang kalian rasa.
Love yourself, then others will do the same to you. They will love you with all their heart.
Itu dia seputar toxic people yang bisa gue sampaikan, sebenarnya masih banyak, tetapi nanti akan gue bagikan lagi kisah-kisahnya. Semoga pengalaman gue bisa menjadi refleksi yang tepat untuk kalian. Ini bukan untuk menggurui, ini murni untuk berbagi. Selamat berbahagia!
Comments