JELAJAH ALAM DIPENGHUJUNG 2019 (Part 1 - Pacitan)
- Vanessa Astari
- Jan 5, 2020
- 10 min read

Halo halo semua!
Kali ini gue mau cerita tentang pengalaman gue berjelajah alam ke Pacitan dan Banyuwangi dibulan Desember 2019 kemarin nih sebagai kegiatan penutup tahun 2019.
Well, it all started when I got boring with my daily activity. Semenjak lulus kuliah dibulan November, hari-hari gue diisi dengan mencari cuan alias money alias uang alias alat tukar masa kini. Yeah we all do, isn’t it? Memang masih freelance, tetapi cukup menyenangkan dan mampu mencukupi sebagian kebutuhan gue. Khusus disini, gue nggak membahas pekerjaan ya. Nanti ada judulnya sendiri kok, hehehe. Doain!
Back to the topic, shall we?
Nah, jadi setelah gue merasa sangat suntuk dan butuh udara segar (udara segar disini kata kiasan ya, bukan secara harfiah), gue mulai merencanakan short escape ke Pacitan, Jawa Timur bersama beberapa teman gue, yaitu Delonix, Alysha, mas Chandra dan Juni. Long story short, Juni nggak jadi ikut karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan. Alhasil, kami berusaha cari pengganti Juni. Voila! Dapat. Kita sebut saja namanya Debu.
Kami berlima harus menghadapi kesulitan mencari jadwal yang pas. Setelah mundur selama 3 minggu. Akhirnya jadi juga. Kami berangkat tanggal 20 Desember 2019 pukul 22.00 WIB dengan jarak tempuh kurang lebih 7 jam. Kala itu kami memutuskan untuk melakukan road trip. Jadi menaiki mobil pribadi milik gue. Dengan semangat 45 yang memenuhi ruang di dada gue, gue mengajukan diri untuk menyetir mobil dari Malang hingga pukul 03.00 WIB dan selebihnya akan digantikan oleh Debu hingga ke Pacitan. Oh ya, FYI karena mobil gue adalah matic, dan kebetulan yang mampu menyetir hanya gue, Debu dan Alysha. Jadi kami sepakat untuk bergantian.
Perjalanan dimulai dengan ceria, sambil mampir ke beberapa minimarket untuk membeli cemilan pembunuh rasa kantuk. Co-pilot hari itu adalah Delonix. Jadi Alysha duduk dibelakang diapit oleh Debu dan mas Chandra. Btw, bawaan kami cukup banyak, karena rencana kami selain explore adalah mengabadikan gambar untuk kepentingan konten media sosial kami, Instagram. Jadi outfit jelajah kami memiliki beberapa opsi. Tujuannya ya biar senada saja sih, hehe.
Jarak terjauh gue menyetir hanyalah pulang-pergi ke Pantai Malang Selatan dan pulang-pergi dari Malang ke Surabaya. Jadi, gue sangat bersemangat, karena akan memecahkan rekor baru.
Tombol volume radio diputar ke kanan, kemudian mode radio diganti dengan mode AUX, dan ponsel Delonix pun menjadi relawan malam itu untuk bernyanyi semalam suntuk. Anehnya, gue tidak merasa ngantuk sama sekali. Padahal kami lewat jalur konvensional, sengaja, untuk hemat budget. Kalian tahu sendiri, kalau melewati TOL akan mengeluarkan biaya lebih.
FYI lagi, gue, Alysha dan Delonix masing-masing membawa uang cash Rp 800.000,- untuk keperluan bensin, masuk tempat wisata, dan menginap semalam di OYO. Ini nggak akan ada review hotel, tenang. Bukan iklan kok. Murni untuk berbagi kisah.
Pukul 03.00 WIB pun akhirnya tiba, kebetulan sudah sampai Trenggalek, Jawa Timur. Meski belum mengantuk, tapi gue dan Delonix memilih untuk tetap beristirahat sesuai jadwal. Kami berdua pindah ke belakang bersama Alysha, kemudian mas Chandra dan Debu kami bangunkan untuk mengisi kursi didepan. Perjalanan pun dilanjutkan.
Setelah terlelap, gue harus terpaksa membuka mata karena ingin buang air kecil. Saat gue melihat ponsel, ternyata hari sudah pagi, menunjukkan pukul 05.00 WIB. Sesaat sebelum gue akan buka suara untuk meminta Debu melipir mencari toilet umum, tiba-tiba mata gue terpukau oleh kilau cantiknya Pantai Soge. Pantai yang luas membentang di bawah jalan utama dan disisi lain jalan utama, adalah tebing-tebing kapur. Suasananya mirip seperti di Pantai Pandawa, Bali. Tapi sayang, kandung kemih gue berteriak, dan gue harus segera memberitahu Debu bahwa gue ‘kebelet pipis’.
“Ini dimana?” tanya gue basa-basi.
Mas Chandra menoleh, “Udah di Pacitan ini,”
“Oh” kata gue menggut-manggut, “mas disini ada toilet gak, ya?”
Lalu mas Chandra langsung menyuruh Debu putar balik dan masuk ke area Pantai Soge. Disana tersedia toilet yang bersih dan airnya juga segar, bukan air asin seperti di pantai lain.
Delonix ikut terbangun karena mesin mobil dimatikan. Gue lalu menawarkan untuk ikut ke toilet, dan dia mengangguk sambil bingung, antara takjub dan masih belum full sadar dari tidurnya. Sementara Alysha tidak bergeming. Tetap terlelap seperti Putri Tidur.
Perjalanan dilanjutkan dan sekitar 45 menit kemudian, kami sudah sampai di Kota. Kami bertiga check-in, kebetulan Debu dan mas Chandra memilih menginap di rumah teman mereka, jadi mereka menunggu kami di mobil. Perut gue, Delonix dan Alysha seperti bernyanyi dalam satu nada kelaparan yang sama. Ya, kami kemarin lupa makan malam!
Mas Chandra mengajak kami makan nasi uduk tidak jauh dari penginapan. Well, murah sekali harganya hanya Rp 4.000,- per-porsi! Lauknya bebas memilih pula. Tapi sayangnya pedas. Untuk gue yang kurang fanatik terhadap rasa pedas, jadi boomerang. Tapi jujur, rasanya enak sekali. Kami makan dengan lahap, tanpa bicara. Seperti bahagia ketemu nasi.
Kami kembali ke penginapan, setelah mendengar mas Chandra berceloteh tentang kota Pacitan yang sepi dan mungil. Kami pun sepakat untuk berangkat menuju Sungai Maron pukul 12.00 WIB. Artinya kami punya waktu 5 jam untuk istirahat dan bersiap-siap. Sesampainya di kamar, gue, Delonix dan Alysha langsung istirahat. Hanya gue yang memilih tidur terlebih dahulu baru mandi sebelum berangkat. Ya, gue lelah banget sehabis nyetir.
Bangun-bangun sudah pukul 10.30 WIB, dan gue langsung bergegas mandi, dandan, dan barulah membangunkan Delonix dan Alysha. Setelah kami siap, mas Chandra dan Debu menjemput kami. Perjalanan dari penginapan menuju Sungai Maron sekitar 1 jam kalau gue tidak salah ingat. Jalanannya berlika-liku seperti diperbukitan. Tapi indah banget, serius deh. Sayang, gue teralu ngantuk untuk bisa menikmati pemandangan, sehingga gue kebanyakan tidur.
Sesampainya di Sungai Maron, kami harus membayar tiket masuk sebesar Rp 2.000,- per-orang kalau tidak salah ingat. Kemudian karena cuaca hari itu sangat terik, kami memutuskan untuk duduk santai di warung sambil minum es degan dan nyemil gorengan. Oh, indahnya hidup!
Lalu sekitar pukul 14.30 WIB kami memutuskan untuk sewa perahu. Biaya sewa perahu yaitu RP 100.000,- yang artinya Rp 20.000,- per-orang karena kami berlima, kalau kami bersepuluh, lain cerita. Kami pun menaiki perahu dan berkeliling sesuai rute. Mas Chandra bersiap mengeluarkan kamera dan juga Debu mengeluarkan kamera. Kami bergantian berpose di bagian haluan perahu dengan rasa was-was karena kami tidak ingin trip ke Sungai Maron berakhir dengan basah kuyup. We definitely didn’t ask for that.
Sungai Maron berwarna hijau jernih dengan kedalaman 4 meter. Kalau panjangnya 4,5 km. Di samping kanan dan kiri, kami disuguhkan dengan pohon kelapa dan semak belukar, juga tentunya ditemani oleh langit yang cerah. Kalau kalian pernah menonton film Bird Box, saat adegan Malorie bersama Boy dan Girl sedang berkelana di sungai…nah kira-kira seperti itu deh pemandangannya! Cantik tapi sunyi. Well, bohong deng! Saat gue kesana sedang ramai pengunjung karena itu weekend hari Sabtu.
Oh ya, di perahu, kami dibekali life jacket juga. Jadi aman, tidak perlu khawatir. Spot foto yang sangat terkenal di Sungai Maron adalah ayunan didekat sumber mata air. It was really challenging foto disana. Dan saat kami melaju ke sumber mata air….indahnya bukan main! Warna airnya biru seperti laut, dengan kedalaman kurang lebih 30 meter. Agak nggak tenang sih gue, saat berada disana. Karena suasananya juga agak beda. Namanya juga alam, apalagi banyak pohon dan ada gua. Ngerti kan?hehe
Saat kami mengabadikan foto di sumber mata air (hanya perahu kami sendirian setelah dua perahu lainnya pergi), di tebing atas terdengar suara gemerisik dedaunan dan rerumputan, seperti diterpa angin atau ada yang sedang lewat. Tetapi anehnya, hal tersebut hanya terdengar dari satu titik. Dedaunan dan rerumputan lainnya tidak bergoyang, diam saja seperti tidak ingin mengusik kami.

Karena suasana mulai nggak enak, ditambah langit mendung, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami menuju Pantai Karang Bolong. Sesampainya disana, kami berpose kembali secara bergantian, sambil dikecup manja oleh indahnya matahari terbenam. Benar-benar indah melihat karang yang sangat besar dari ketinggian. Ketika menoleh kebawah, gue melihat debur ombak yang merefleksikan warna biru gelap, tosca, dan buih putihnya dengan cantik. Membuat kami betah berlama-lama disana.
Saat hari mulai semakin gelap, kami memutuskan kembali ke kota dan makan malam. Kali ini, mas Chandra (sebagai orang Pacitan asli), mengajak kami makan Sate Kambing. Pilihan yang tepat! Karena aktivitas seharian hanya diisi oleh roti, gorengan, air putih serta es degan. Setelah selesai menyantap makan malam dengan semangat, kami mampir ke alun-alun Kota untuk beli dessert. Tetapi sayang, teralu ramai dan kami nggak begitu menikmati deh jadinya.
Delonix dan Alysha membawa pulang crepes. Sementara gue saking lelahnya, nggak ingin beli apapun. Hanya rindu kasur. Itu saja.
Sesampainya di penginapan, kami bersih-bersih kemudian tidur. Tapi sial, teralu larut hingga pukul 00.00 WIB. Sedangkan, mas Chandra meminta kita bangun pagi hari untuk melihat sunrise di Pantai Klayar. Benar saja, voila! Kami kesiangan, sehingga memutuskan untuk skip mandi pagi. I know, jorok ya?

Kami berangkat pukul 06.00 WIB sambil check-out dan disambut dengan hujan gerimis. Kami sempat bingung, tapi mas Chandra dan Debu optimis bahwa meski hujan, kami akan tetap bahagia hehe. Sarapan di hari kedua di warung kopi. Gue makan nasi goreng, Delonix makan mie rebus, Alysha makan nasi pakai nugget, dan oh! Gue lupa mas Chandra dan Debu makan apa hehehe. Sori.
Setelah kenyang, kami melanjutkan perjalanan. Dengan jarak tempuh 1 jam. Lagi-lagi di mobil gue otomatis tertidur. Ketika bangun, sudah dimulut Pantai Klayar. Cantik sekali! Cuaca menjadi cerah, terang benderang. Di sisi kanan pantai ada bebatuan karang, sementara dimulut pantai, ada puluhan pohon kelapa berdiri gagah seperti sedang menyambut wisatawan. Kami pun bergantian berpose didepan kamera mas Chandra. Kali ini, Debu memilih untuk duduk manis sambil menjaga barang-barang kami, ditemani Alysha.
Hari itu gue agak saltum, gue malah pakai celana ¾ gitu. Alhasil saat take di dekat ombak, celana gue basah hingga lutut. Terpaksa sehabis foto, gue berjemur dipinggir pantai dengan menggunakan payung. Sementara itu Delonix dan Alysha membelikan kami es krim. Wow, pilihan yang tepat.
Setelah itu, kami menggelar tikar milik ibu-ibu yang berjualan di warung, sambil minum es degan, es teh, dan lain-lain, lalu mendengarkan lagu dan bersantai dibawah pohon kelapa. Saking asiknya, gue, Delonix dan Alysha mengambil bantal di mobil dan tidur dibawah payung. Ya, payungnya punya gue. Payung biasa.
Lucunya, beberapa menit sekali kami harus menggeser tikar ke arah yang lebih teduh karena matahari semakin siang semakin naik. Merepotkan banget! Gue sampai ngomel sendiri. Karena sudah nemuin posisi PW, ngerti kan??
“Kurang-kurangin dah idup kayak gini,” kata Debu pelan sambil cengengesan.
Gue, Delonix dan Alysha sontak tertawa bersama. Sebagai sobat rebahan, omongan Debu barusan ada benarnya juga, pikir gue.
Akhirnya setelah bergeser berkali-kali, kami menemukan tempat yang pas, well at least it last for 30 minutes. Bisa buat tidur siang. Kemudian sampai lah pada pukul 12.30 WIB. Perut kami meronta lapar.
Kami pun berangkat menuju suatu pantai (asli, gue lupa namanya!) dan sayangnya matahari sedang terik-teriknya, sehingga kami memutuskan untuk mampir sekedar makan siang bersama ikan bakar YANG RASANYA MANTAP SEKALI. Meskipun saat makan, ada bapak-bapak ikut nimbrung ngobrol hehehe.
Selesai makan, kami berangkat menuju Sungai Cokel. Kalo gue bilang, kembarannya Sungai Maron, tapi bedanya, Sungai Cokel langsung berhadapan dengan laut lepas, sehingga perahu yang kami naiki sampai ke laut. Untuk biaya menaiki perahu, sama, yaitu Rp 100.000,- yang artinya per orang kena Rp 20.000,-
Pengalaman di Sungai Cokel lebih menantang. Apalagi saat kami di laut. Ombak yang besar benar-benar mengocok perut kami dan juga membuat jantung rasanya mau lompat seperti lumba-lumba. Gue dan Alysha cukup ketakutan dan selalu heboh selama diatas perahu. Bahkan kami nggak berani melepas life jacket sama sekali. Hal itu cukup membuat kami kelihatan seperti lelucon didepan mas Chandra dan Debu. Sementara Delonix paling santai dan seperti gak takut sama sekali. Padahal mas Chandra saat ngambil gambar selalu heboh dan membuat perahu seolah akan terbalik 180 derajat. MENEGANGKAN!
Setelah dari laut, kami kembali menyusuri Sungai Cokel sepanjang 500 meter. Kalau kedalamannya maafkan nggak tahu hehehe. Sama seperti Sungai Maron, warna airnya hijau jernih dan dikanan kiri ditemani oleh pohon kelapa dan semak belukar yang tinggi. Sialnya, saat mas Chandra dan Debu sedang asik berduet mengambil gambar kami bertiga, hujan deras tiba-tiba turun tanpa pendahuluan. Kami panik dan langsung berlindung di bawah life jacket demi keselamatan kamera-kamera tersebut.
Ada suatu kejadian kurang menyenangkan dari wisatawan lain terhadap kami. Kebetulan selama kami mengambil gambar, ada wisatawan segerombol pria muda usia 25-30 tahunan, melakukan catcalling berkali-kali. Nah, puncaknya adalah saat kami basah kuyup terguyur hujan, mereka menonton kami turun dari perahu sambil berteriak, “BUKA BAJUNYA!!!! HAHAHA”
Sayangnya kami nggak sempat melawan karena keadaan genting, harus berlari, berteduh, dan menyelamatkan kamera. Akhirnya kami bertiga hanya menggerutu, sementara mas Chandra dan Debu menenangkan kami dan memberi pencerahan bahwa kemungkinan wisatawan tersebut tidak paham bahwa becanda seperti itu bisa dianggap sebagai pelecehan seksual. Sambil menunggu hujan reda, segerombol wisatawan itu menaiki mobil hi ace dan melewati kami yang saat itu masih berlindunh dari hujan dibawah loket tiket perahu. Lagi-lagi, mereka melakukan catcalling. Namun kali ini gue, Delonix dan Alysha melawan. Kemudian mereka semua terkejut dan buang muka dibalik jendela mobil.
Warga lokal yang melihat kami bertiga marah, malah mendukung dan ikut menggerutu menyalahkan rombongan wisatawan tersebut. Fiuh! Syukurlah.
Mas Chandra berinisiatif mengambil payung di mobil sementara itu Debu menjaga kami. Lucunya, saat payung berhasil dibawa, hujan berhenti begitu saja. Kami pun pasrah dan melanjutkan perjalanan ke Pantai Kasap yang berada di belakang Sungai Cokel. Sehingga kami memutuskan untuk berjalan kaki.
Rupanya, destinasi berikut kami adalah Pantai Kasap, atau biasa disebut Raja Ampatnya Pacitan. Karena Pantai Kasap yang berada di tebing yang sangat tinggi dan ada spot foto khusus untuk memertontonkan batu karang yang besar-besar seperti pulau dibawah sana. Spot foto tersebut seperti gazebo tanpa atap yang terbuat dari kayu. Gazebo tersebut cukup tinggi, sehingga membutuhkan effort yang lebih untuk mencapainya melalui anak tangga, dan pula area spot foto tersebut dikenakan tiket masuk per-orang. Sayangnya gue lupa berapa harganya. Ok, lanjut, karena tadi sempat hujan, gazebo kayu tersebut jadi licin sekali. Sehingga para penjaga loket mengingatkan kami untuk berhati-hati dan melepas sandal jepit kami. Sesampainya diatas gazebo, kami kesulitan dapat gambar yang anti bocor. If you know what I mean. Sehingga kami harus bersabar menunggu para wisatawan selesai berfoto dan turun dari gazebo. Nah, sialnya saat gazebo sudah sepi dan kami sedang mengambil gambar, hujan turun lagi mengguyur kami. Kami panik dan takut sekali tersambar petir. Akhirnya gue membuka payung dan kami turun gazebo satu persatu diantar oleh mas Chandra, karena Debu harus menjaga kamera. Untung gue bawa 2 payung. Sesampainya di undakan tebing yang pertama, belum jauh dari gazebo, hujan berhenti, dan langit seperti tersenyum dengan pipi merah merona. Mas Chandra mengajak kami kembali naik, sementara Debu terlanjur jatuh cinta pada patung ular dan meminta Delonix merekamnya untuk konten instastory, haha, dasar! Kami pun kembali focus mengambil gambar, secepat mungkin dan sebanyak mungkin, sebelum matahari benar-benar terbenam dan hasil fotonya jadi biasa saja. 15 menit kemudian, pengambilan gambar selesai. Mas Chandra dan Debu sudah berhasil menjepret kami berkali-kali, sekaligus untuk membuat video. Kami turun gazebo dan pulang dengan kaki penuh lumpur dan sandal super licin.
Sebelum pulang ke Malang malam itu juga, kami memutuskan untuk mandi di toilet dekat parkiran, kami semua mandi, kecuali mas Chandra, ia tidak mandi karena ia tidak ikut kami kembali ke Malang. Ada acara camping di Pacitan, katanya. Hari terakhir kami di Pacitan ditutup dengan mengantar mas Chandra ke rumah temannya dan Debu menyetir, bersama Delonix sebagai Co-pilot. Gue dan Alysha memilih untuk duduk manis di belakang sambil menghemat energi agar bisa menggantikan Debu nantinya. Karena perjalanan cukup panjang, dan esok hari jam 10.00 WIB gue harus bekerja. Ironic.
Saat sedang asik-asiknya tidur, tiba-tiba gue terjaga, dan melihat sekeliling. Rupanya kami terjebak di jalan tikus arahan Google Maps. Kami harus melewati perbukitan dan pedesaan terpencil yang jarak antar rumah bisa sampai 300 meter jauhnya. Kami berempat berusaha tegar dan berusaha berani menghadapi ketakutan ini. Kami hanya tidak mau terjebak di Desa Penari yang kemarin viral itu. Setelah kurang lebih 4 km kami menyusuri jalanan super gelap dan desa yang rasanya tidak berpenghuni, kami dikejutkan oleh sepasang suami-istri usia lanjut yang berdiri di luar rumahnya dan menatap mobil kami. Gue bergidik ngeri, pikir deh, malam-malam jam 00.00 buat apa mereka keluar rumah? Syukurlah setelah semua ketegangan itu, kami akhirnya sampai di Trenggalek. Kemudian gak lama, gue dan Debu bergantian menyetir. Kami pun selamat sampai ke rumah masing-masing tanpa lecet sedikitpun. Pacitan is really great and beautiful, i wish i could go back someday, kita sambung lagi di kisah Banyuwangi ya!
See you!
Comments