Stop Bullying, For a Better Generation!
- Vanessa Astari
- Jan 31, 2018
- 7 min read
Have you ever heard about bullying? What comes to your mind when you heard about it? And what do you think about it? Does bullying is cool? Does bullying needs to be a trend? What can we do to reduce the number of the victim? Why does most of society are afraid to stand against bullying and remain silence when they see it? What cause people intimidate others? Why bullying happen?
Setiap orang yang pernah muda, atau bahkan masih muda, pasti sudah tidak asing lagi dengan kata ‘bullying’! Jadi, menurut kalian apa sih bullying itu?
Yup, kalian benar. Simple-nya, bullying adalah salah satu bentuk kekerasan berupa penindasan secara verbal maupun non-verbal. Bullying ini sendiri bisa dilakukan secara personal maupun berkelompok. Bullying lazim terjadi di kalangan Siswa sekolah dan Mahasiswa, tetapi tidak menutup kemungkinan juga terjadi di kalangan pekerja
Sejumlah pertanyaan di awal tulisan gue sejatinya adalah pertanyaan yang paling sering di lontarkan oleh masyarakat. Mungkin memang tidak semua pertanyaan tersebut mampu gue jawab sesuai dengan ilmu sosiologi dan psikologi, because I’m not an expert though…tetapi, gue akan berbicara dan mengutarakan pendapat serta pandangan gue sendiri terhadap bullying.
Kebetulan, gue pernah menjadi si pelaku bullying, pernah menjadi korban bullying, sekaligus menjadi saksi bullying yang tidak berani bertindak. I literally have experienced it all within 20 years of my life. Sehingga, mungkin karena gue pernah mencicipi semua peran dalam kasus bullying, inshaAllah sedikit banyak gue tahu bagaimana rasanya dan apa penyebabnya.
Baiklah, gue akan mulai share pengalaman gue sebagai pelaku bullying.
Kejadiannya terjadi sekitar 11 tahun yang lalu, ketika gue masih duduk di bangku kelas 5 SD. Gue bukanlah anak SD yang popular, tapi Alhamdulillah gue masih punya cukup banyak teman. Gue bukanlah anak yang gila di hormati oleh juniornya, gue justru sangat cuek dan nggak peduli sekitar, bahkan ke senior pun gue nggak menghormati berlebihan atau punya niat untuk kenalan. Kehidupan sekolah gue lancar-lancar saja, paling sedih kalau nilai matematika gue 65, kalau PR ketinggalan, kalau jajanan favorit di kantin habis, atau ada teman gue yang curhat melulu soal cowok. Ya, beberapa teman cewek gue jiwanya sudah puber dan mulai naksir lawan jenis. Sebenarnya gue juga mengalami hal yang sama, tapi gue jarang koar-koar yang nggak perlu (ini dulu loh, ya haha).
Ok, skip this part, kemudian datanglah suatu hari dimana salah seorang teman sepermainan gue cerita bahwa ada adik kelas yang ngajak ribut. To be honest, gue lupa cerita detailnya, tapi yang jelas ketika teman gue itu mulai ‘kompor’, kami semua yang notabene masih ‘otw ABG’ itu merasa harus solid dan harus membela teman kami ini (padahal, kalau dipikir-pikir, kami ini kan nggak ada sangkut pautnya, kenal saja sama si calon victim saja nggak! Haha). Dan tercetus lah statement yang mengejutkan dari salah satu teman gue, katanya “Ya sudah, kayaknya songong banget itu anak, kita labrak saja dia!” Gue langsung melongo, saat itu gue polos banget sampai nggak ngerti apa yang dimaksud dengan ‘ngelabrak’. Kemudian teman gue menjelaskan bahwa ‘ngelabrak’ itu adalah kegiatan mendatangi orang dan kita marah-marahi sampai orangnya nangis, kapok, dan nggak akan ‘songong’ lagi sama kita sebagai seniornya.
Gue hanya manggut-manggut saja waktu itu. Di otak gue sudah membayangkan adegan dramatis layaknya di sinetron ketika si ibu tiri marahin teman-temannya Bawang Putih hahaha. Kemudian salah seorang teman gue yang lain berkata “Sindir dulu deh sebelum kita labrak, biar kita tahu dia punya sopan santun atau enggak” Dan hari-hari berikutnya kami melancarkan aksi sindir, senggol bahunya ketika papasan di kantin, melirik ke si calon victim sambil melakukan rolling eyes, kemudian pada akhirnya setelah kami merasa bahwa si adik kelas itu nggak peka, kami benar-benar melakukan aksi ‘ngelabrak’. Saking semangatnya (karena gue pikir itu hal yang keren, bisa memarahi orang secara keroyokan dan menunjukkan bahwa kita ini senior yang kuat, patut ditakuti, dan disegani), gue kepleset 3x saat gue mendatangi dia, dan itu rasanya…..hm ok, skip this part!
Si victim akhirnya menangis ketakutan, karena kami bersepuluh mengelilingi dia sambil marah-marah dan bentak dia (disini kami tidak melakukan kekerasan fisik sama sekali), yah, seolah menghakimi dan merasa paling benar diatas bumi. Kami paksa dia minta maaf ke kami semua, tanpa terkecuali. Sejak saat itu, nggak ada adik kelas yang berani sama kami. Tapi setelah itu, kami nggak pernah cari masalah lagi hingga lulus SD, kami memang tidak sepenuhnya menyengaja hal tersebut, kami hanya ingin coba-coba. Dan dulu…gue pikir, hal tersebut adalah keren.
So, rasanya jadi pelaku bullying itu : prestige, proud, happy.
Sementara penyebabnya kenapa kami melakukan bullying, jawabannya adalah : karena kami ingin menunjukkan siapa yang terkuat, siapa yang berani, siapa yang hebat, kami nggak suka jika ada yang menandingi, kami suka ada orang yang takut sama kami, dan yang terpenting adalah biasanya bullying terjadi untuk menunjukkan solidaritas sekelompok anak muda yang labil agar dibilang ‘keren’.
Pengalaman selanjutnya adalah gue sebagai korban bullying.
Anyway, pepatah you’ll get what you deserve itu sangat berlaku bagi gue. Kejadian ini gue alami 14 tahun yang lalu, alias 3 tahun setelah gue menjadi pelaku bullying, tepatnya ketika gue duduk di bangku SMP kelas 8. Lagi-lagi, di SMP gue bukanlah anak yang popular, tapi Alhamdulillah gue punya cukup banyak teman. Selama di SMP, gue memilih jadi orang yang tidak peduli lagi dengan kehidupan junior gue. Tidak peduli apakah mereka ingin jungkir balik, atau apapun, gue biarkan, selama mereka nggak cari gara-gara sama gue personally. Even mereka cari gara-gara sama teman dekat gue, gue berusaha professional dan nggak ikut campur. Gue merasa harus taubat dan mencetak prestasi di kelas saja, lagipula udah bukan saatnya cari eksistensi. Tapi…masa lalu gue yang buruk sepertinya menuntut balasnya.
I used to be pople yang sangat bossy, suka ikut-ikutan, moody, egois, dan lebay. Kebetulan, gue dan sekelompok teman-teman gue ini agak nakal. Kami suka memotong baju kami hingga pendek, rok kami dibikin sempit, dan memakai lipgloss selama KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) berlangsung dengan alibi agar bibir kami tidak pecah-pecah, hehe. Alhasil, kami sekelompok jadi sorotan senior dan di cap adik kelas ‘songong’. Padahal, jujur saja, kami nggak pernah berperilaku nggak sopan, malah kami sering senyum sama senior yang kami kenal. Tapi sepertinya karena ‘gaya’ kami yang sok senior tertua, membuat mereka merasa tersaingi, nggak mau kalah, dan nggak suka.
Kami pun jadi bual-bualan senior kami di sekolah. Nggak jarang, mereka juga mengadu ke guru BK (Bimbingan Konseling) karena gaya seragam kami yang nggak sesuai aturan (padahal mereka juga loh, hehehe). Tapi karena nggak berhasil (ya, mereka jadi ikut kena hukuman juga karena mengadu yang notabene mereka sendiri melakukannya), akhirnya mereka (jujur, hampir seluruh senior kelas 9 melakukan ini ke kami) mulai melancarkan aksi bullying dengan menyindir kami sambil berteriak, ‘ngelabrak’ kami tiba-tiba, meludahi kami, menabrak bahu kami, mendorong kami, mencorat-coret dinding kamar mandi sambil menuliskan kata-kata yang buruk untuk kami, dan menjelek-jelekkan kami di sosial media.
Tapi kami semua bisa survive karena teman sepantaran kami nggak ada yang jahat sama kami. Mereka malah bingung, apa salahnya dengan kami. Toh, jikapun ada yang berhak marah/bertindak itu adalah pihak guru dan kepala sekolah, bukan mereka selaku senior. Jadi, karena dukungan itulah kami enjoy saja dan nggak ambil pusing. Gue pun juga merasa aman.
Kemudian, suatu hari gue punya masalah kecil dengan sahabat gue, salah satu di kelompok pertemanan kami. Masalah sepele yang ternyata berujung besar. Singkat cerita, si sahabat gue ini curhat ke sahabat kami yang lain (masih di dalam kelompok yang sama), kemudian sahabat gue yang lain akhirnya buka suara bahwa mereka juga nggak suka dengan gue. Alhasil, mereka semua sekongkol menjauhi gue. Sahabat-sahabat gue yang selama ini menguatkan untuk ‘face the world together against the haters’ akhirnya give up dan berbalik arah ikut menyerang gue. Jadi, di tahun itu gue dapat 2x lipat kasus bullying atas balasan perlakuan gue yang dulu kelas 5 SD. Mereka meneriaki gue di depan kelas, meninggalkan gue ke kantin, mengirimi spam berisi kata-kata kurang menyenangkan, dan menjelekkan nama gue di sosial media. Gue hancur, rasanya nggak ingin sekolah lagi. Gue nangis seharian, mogok sekolah dan nggak mau makan. Hingga salah satu sahabat gue dari kelompok itu yang memang dari awal nggak ikut-ikutan pun membantu gue dengan ikhlas. Dia membujuk gue untuk masuk sekolah dan akan melaporkan tindakan bullying tersebut ke guru BK. Alhasil, masalah gue di selesaikan di ruang BK sambil menangis dan minta maaf, kemudian mendengarkan kejujuran sahabat gue mengenai sifat buruk gue yang sangat mengganggu mereka. Setelah itu, kami sempat berjauhan 2 minggu dan akhirnya setelah gue memutuskan untuk berubah jadi lebih baik lagi, kami berteman lagi, hingga sekarang, 8 years of friendship.
So, rasanya jadi korban bullying itu : hurt, sad, disappointed, hopeless, desperate, stressed, and wanna disappear.
Sementara penyebabnya kenapa gue bisa survive from bullying, jawabannya adalah : karena ketika masa di bullying dan kita masih punya teman, gue yakin bahkan nantinya suatu saat, si korban bisa fight back. Karena dia mendapatkan kekuatan secara psikologis dan di otaknya sudah berpikir bahwa dia nggak sendirian dan dia nggak takut. Tetapi, ketika masa di bullying dan dia sendirian, no wonder there’s a lot of people who did suicide because of they can’t stand the pain. Memang, jadi korban bullying rasanya se-desperate itu. Rasanya kayak benar-benar sendirian di bumi and no one can help you.
Yang ketiga adalah peran gue sebagai saksi bullying.
Menjadi saksi bullying sudah terjadi selama gue duduk di bangku SD hingga SMP. Ada seorang teman gue yang karena tidak memenuhi beauty standards akhirnya jadi korban bullying, ada seorang teman yang memiliki kelebihan Autisme akhirnya jadi korban bullying, ada pula seorang teman yang memiliki masalah psikologi dengan emosinya jai korban bullying. Gue melihat mereka iba, tapi gue terkadang tidak bisa menahan tawa ketika mereka melakukan hal lucu. Semisal kepleset atau apa…bukan hal lucu karena cemoohan kok. Jujur, gue sering membayangkan gue jadi pahlawan dan membela mereka di depan teman-teman gue yang sudah kurangajar menjadikan kekurangan seseorang sebagai bahan olokan. Tetapi untuk bisa melompat dan membela mereka yang tertindas itu tidak mudah, ada rasa takut yang bergentayangan. Rasa takut akan dikira ‘sok pahlawan’, ‘sok suci’, ‘sok paling benar’, dan yang paling mengerikan adalah akhirnya gue juga bisa jadi akan jadi sasaran bullying berikutnya. Itu adalah perdebatan batin yang sangat dahsyat. Gue yakin, bukan hanya gue yang mengalaminya, but everyone. Karena sadar atau tidak sadar, kita tahu jadi seorang victim itu nggak enak, kita tahu resikonya besar, seperti kena gangguan jiwa, jadi tidak PD, jadi pendendam, jadi pembunuh, jadi pelaku tindak kekerasan di masa yang akan datang, dan mungkin saja bunuh diri. Kita tahu, tapi kita teralu takut akan resiko yang sesungguhnya lebih kecil dari dampak yang terjadi ketika kita hanya diam, menonton, dan kasihan melihat mereka.
Alhamdulillah selama di kuliahan, gue belum melihat ada perilaku bullying lagi di depan mata. Gue hanya mendengar atau membaca kasus bullying dari berita yang beredar. Gue hanya ingin kita bisa saling mengingatkan dan menyelamatkan si korban. Karena, every soul is precious. Setidaknya jika tidak berani membela, mungkin kita bisa melaporkannya kepada pihak berwajib, atau paling tidak menghimbau orang di sekitar untuk menghindari perilaku bullying dan mengajak orang di sekitar untuk lebih aware terhadap para korban.
Bullying is not cool. Bullying is no good. Bullying is mean. So stop it, raise a better future with high quality generation!
Be good to everyone.
Love, V-A.
留言