top of page

TENTANG (MANTAN) SAHABAT

  • Vanessa Astari
  • Feb 7, 2017
  • 6 min read

TENTANG (MANTAN) SAHABAT

Teman dan sahabat memiliki arti yang berbeda ketika diucapkan, menurut gue pribadi. Teman adalah orang yang ada disamping kalian, tertawa dan susah bersama namun nggak kalian yakini untuk menyimpan semua rahasia dan pendengar keluh kesah yang setia. Sementara sahabat adalah orang yang selalu ada disamping kalian ketika suka dan duka, kalian juga meyakini bahwa mereka orang yang tepat untuk menyimpan rahasia serta pendengar keluh kesah yang setia.


Sehingga, ketika seseorang sudah berkata bahwa kalian adalah sahabatnya, maka kalian memiliki arti penting di hidup seseorang tersebut. Kalian pasti akan masuk dalam beberapa daftar utama prioritas diantara setumpuk kepentingan yang lainnya. Seorang sahabat diyakini nggak akan mengkhianati, berbohong, atau bahkan pergi tanpa meninggalkan kata. Gue sendiri adalah tipikal orang yang loyal terhadap teman dan sahabat gue. Dengan begitu, gue selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan mereka.


Saat SMP, gue bertemu 12 orang perempuan yang otaknya hanya digunakan ¼ bagian setiap berpikir, berani gila-gilaan, dan setia kelewat batas. Semenjak itulah kami bersahabat hingga sekarang ini, di jaman kuliah. Gue sangat bersyukur memiliki mereka, karena hari-hari gue dengan mereka nggak pernah membosankan! Mereka selalu tahu kapan harus tertawa, tersenyum, diam, marah, dan menangis. Kami sudah teralu mengerti mengenai kepribadian satu sama lain. Meskipun begitu, nggak bisa dipungkiri juga bahwa beberapa dari kami saling sebal antara satu dengan lainnya.


Awalnya, kami mampu menyelesaikan masalah dengan baik. Setiap ada hal yang mengganjal dihati, kami anggap sebagai unek-unek dan dibicarakan secara kekeluargaan. Namun, tentu saja output yang kami harapkan nggak selalu sesuai dengan ekspektasi. Beberapa malah berujung permusuhan dan itu sangat membuat suasana jadi nggak nyaman. Akhirnya, keganjalan itu terkadang hanya kami simpan dalam hati, nggak terucap dan dibiarkan selama menahun, so that no one can leave nor feel hurt anymore.


Dua dari 12 orang tersebut kini meninggalkan kami. Entah apa yang salah, tapi kumpul saja rasanya sesulit memindahkan kapal laut dari dermaga dengan sepasang tangan kosong. Tetapi, gue nggak pernah membiarkan mereka pergi begitu saja. Gue nggak suka merasakan kehilangan atau kecewa. Gue selalu berusaha membuat mereka kembali. Gue selalu mengajak mereka bermain sepulangnya gue dari Malang, tempat perantauan gue. Tetapi hampir tiga tahun berlalu dan usaha gue seolah gak menemukan titik cerah.


Gue sempat dengar dari seorang teman bahwa Dara (nama samaran dari salah seorang sahabat gue yang pergi) sebenarnya sering mengajak dia bertemu dan bermain. Since that day, I feel like I’ve lost my respect as her bestfriend. Dara selalu punya 1001 alasan untuk nggak kumpul dengan kami ketika gue berbicara, tetapi dia rupanya malah merindukan temannya yang lain. Sementara kami sebagai sahabatnya, malah dihindari.


Itulah soal Dara. Perempuan lainnya yang pergi adalah Shilla. Dia merupakan teman sepermainan gue dikomplek rumah. Dia adalah perempuan yang manis dan wajahnya dikaruniai sentuhan ‘bule’. Shilla hilang ketika memasuki masa SMA, dimana memang kami ber13 pisah-pisah sekolah. Yang gue tahu dan gue dengar, Shilla mendapat kumpulan teman baru dan membantuk sebuah geng. Shilla benar-benar hilang dari peradaban. Gue hanya bertemu Shilla ketika main bersama anak komplek lainnya. Sisanya, kami seperti nggak punya alasan lagi untuk bertemu atau bahkan sekedar basa-basi lewat chat.


Padahal, keluarga gue dan Shilla sangat dekat. Kami sampai tahu masalah keluarga satu sama lain. Keluarga kami selalu saling tolong untuk hal apapun, dari hal kecil hingga besar. Kami sudah seperti saudara kandung. Ketika lulus SMA, gue sempat mengobrol lagi dengan Shilla melalui chat, dan dia bercerita bahwa dia lagi berusaha untuk meniti karir dalam sebuah girlband. Gue sebagai sahabat yang masih setia pasti memberi dia support yang banyak. Tetapi gue cukup sedih karena demi mengejar karirnya, Shilla terpaksa menunda kuliahnya hingga 2 tahun. Gue tahu benar Shilla seperti apa, Shilla sebenarnya selalu berusaha untuk bermain dengan kami, tapi beberapa hal di hidupnya selalu menghalangi.


Untuk Shilla, gue masih disini menunggu lo dengan cerita-cerita mengenai kesuksesan yang akan lo bawa untuk gue dengar. Meski begitu, gue nggak akan ganggu dan usik lo lagi untuk bisa kumpul. Jujur gue merasa kehilangan, tapi lakukanlah apa yang menurut lo benar dan bisa membawa lo kepada kebahagiaan. Semoga Allah selalu melindungi lo.


Enough said, they’ve disappointed me, I need to stop holding on. Gue rasa, usaha gue sudah cukup maksimal. Saatnya gue biarkan mereka pergi dan nggak perlu menahannya lagi. Gue bukan tipikal orang yang mampu berpura-pura baik demi keutuhan sebuah perkumpulan persahabatan. Jika memang kami sudah berbeda, maka untuk apa dipertahankan? Gue pun bukan yang pertama memulai pergi tanpa pamit. Gue masih mau berteman dengan 10 perempuan yang lainnya, karena mereka memang gak pernah meninggalkan gue. Mereka masih disana, sebagai sahabat gue yang selalu ada meski sering ribuan hari tak jumpa.


Ketika SMA, gue bertemu segelintir orang yang bisa mengerti dengan jokes gue, bisa berbincang lama sampai lupa waktu, dan setia disamping gue. Mereka berjumlah 7 orang ; 3 orang perempuan dan 4 orang laki-laki. Persahabatan kami terjadi begitu saja tanpa ada yang menandatangani surat pengesahan. Kami gak pernah menjanjikan apapun untuk selalu bertukar kabar seusai lulus nanti atau janji-janji lainnya yang biasa terucap dari bibir remaja-remaja yang masih labil untuk sahabat-sahabatnya.


Dari kelas 10 hingga 12, kami selalu kumpul bersama. Susah, senang, asam, manisnya masa putih abu-abu kami lewati bersama. Dari mulai jatuh cinta, patah hati, dikhianati teman, urusan akademik yang mengancam, bahkan hingga urusan keluarga yang sangat privasi. Kami saling tahu rahasia besar masing-masing, bahkan salah seorang sahabat gue, sebut saja Romi, pernah mengatakan bahwa ia baru pertama kali bicara buka-bukaan soal masalah keluarganya kepada para perempuan. Wah, ketika sebuah kalimat simple tersebut terlontar darinya, gue merasa berada di awan. Gue merasa bahagia bisa dipercaya sebagai seorang sahabat oleh para laki-laki itu. Gue bahagia, karena dengan keberadaan mereka di sekolah, gue punya alasan untuk semangat.


Seperti biasa, selalu ada yang pergi. There’s always those who we called ‘the one that got away’. Seorang sahabat perempuan, sebut saja Syazi, yang sekaligus merupakan chairmate gue selama 1 tahun di kelas 10 pun perlahan mundur. Entah apa yang terjadi, lama-lama dia selalu nggak hadir ketika kumpul-kumpul. Hampir setiap saat gue rasa dia beralih fokus dengan kekasihnya. Yah, namanya juga remaja. Gue nggak ada rasa iri atau apapun, gue menghargai jika memang Syazi merasa lebih nyaman pergi dan bermain bersama kekasihnya ketimbang dengan kami, sahabat-sahabatnya. Tetapi gue sedikit menyayangkan ketika Syazi benar-benar pergi tanpa bicara. Gue selalu ingin bicara empat mata dengan dia tapi seperti ada rasa sakit hati yang menahan gue.


Ya, Syazi yang dulu selalu curhat dengan gue tentang apapun, Syazi yang selalu membantu gue belajar matematika, Syazi yang ceria dan pendengar yang baik itu kini bukan sahabat gue lagi. She’s now just somebody that I used to know.

Perginya Syazi nggak berpengaruh banyak untuk keutuhan persahabatan kami. We keep going, kami masih kumpul. Selain Syazi, salah satu dari 3 laki-laki itu merupakan sahabat terdekat gue juga, sebut saja namanya Azmi. Gue dan Azmi selalu bersama, dari mulai mengerjakan PR, curhat, makan, dan lainnya. Gue selalu berusaha menolong Azmi keluar dari kemelut kisah cintanya. Meski Azmi adalah orang yang keras kepala, tapi nggak pernah gue lelah untuk bantu dia. Gue sering beradu pendapat dengan Azmi, tapi syukurlah kami nggak pernah benar-benar berkelahi hingga puasa bicara untuk waktu yang lama.


Lagi-lagi, pertumbuhan membawa perubahan. Ketika lulus SMA, kami seperti tiba-tiba amnesia. Kami lupa caranya tertawa pada nada yang sama, kami lupa caranya berjalan diatas bumi yang sama hingga kami tersesat jauh antara satu dan lain, kami lupa siapa diri kami yang sebenarnya. Kami seolah baru menemukan arti kejujuran, bahwa sebenarnya kami nggak nyaman bersahabat dalam waktu yang lama atau bahkan selamanya. Lidah kami kelu ketika bertemu.


Gue merasakan perubahan itu perlahan-lahan merasuki kami satu persatu. Tetapi gue masih ingin berusaha, gue tahu gue sangat bodoh seolah masih menunggu cairnya tumpukan salju dipuncak gunung Jaya Wijaya. Hari, bulan, dan tahun berganti. Renggang yang hadir diantara kami semakin membesar, kemudian memisahkan.


Gue berhenti berharap, ketika mengetahui bahwa sahabat-sahabat lelaki gue terlibat sebuah project dengan seorang rival gue. Hati gue rasanya mencelos. Rasanya campur aduk antara senang tapi sedikit kecewa. Gue nggak bicara dengan mereka lagi sejak saat itu. Jujur, gue bukan bermaksud melarang dan membatasi pertemanan mereka. Itu hak mereka untuk berteman dengan siapapun, termasuk rival gue. Tetapi hal yang membuat gue enggan bicara lagi adalah ketika mereka berteman dengan rival gue tetapi seketika jauh dari gue.


Usaha gue setahun terakhir untuk mengajak berkumpul sia-sia, dan entah mungkin salah satu faktornya adalah ketika mereka menemukan kesibukan baru yang asik. Mereka seperti lupa dengan gue. Salah satu sahabat perempuan mereka yang sering mereka ‘curhatin’. Sementara sialnya, gue nggak pernah bisa lupakan mereka. Gue rindu.


Seperti yang sudah gue sempat katakana di cerita #1, bahwa gue nggak bisa bersahabat demi mempertahankan sebuah perkumpulan. Gue nggak peduli kejam atau ‘baper’ tetapi ketika memang rasa memiliki diantara kami itu benar-benar sudah gak bisa diperbaiki, lantas untuk apa dan untuk siapa gue bertahan? To get nothing? Tentu tidak, maka gue memilih untuk pergi, gue leave dari group LINE kami. Yang tersisa dari itu semua hanya dua sahabat perempuan gue, mari kita sebut Ira dan Syabil. Sudah nggak ada lagi mereka, Syazi dan 4 lelaki itu di hidup gue.


Gue merasa dikhianati sekaligus ditinggal begitu saja oleh mereka. Selain kecewa, ada luka yang mereka torehkan untuk gue. Gue membiarkan mereka bahagia dengan teman baru mereka dan melakukan apa yang mereka sukai. Gue harap mereka akan sukses untuk kedepannya dan mau memaafkan perasaan gue yang sudah memperbudak gue untuk memilih pergi.


Meski begitu, gue nggak menyesal pernah kenal dengan mereka. Gue masih menghargai dan menghormati mereka seperti dulu, hanya saja koneksi kami sebagai sahabat sudah melemah hingga akhirnya terputus. Gue bahagia pernah memiliki mereka sebagai mesin pencetak senyum di bibir gue semasa SMA. Gue bangga pernah melewati semua cerita itu dengan mereka. Gue berharap di lain waktu kita bisa bicara lagi, ya? Semoga sukses!


Gue berpikir bahwa mantan sahabat adalah sebuah gelar yang buruk untuk dimiliki. Tetapi bukankah begitu lebih baik daripada harus terikat dalam persahabatan yang penuh dusta dan benci? Think about it again and you are free to choose.


Comments


V-A for Vanessa Astari

bottom of page