V-A thought about 'perantau' problem
- Vanessa Astari
- Feb 5, 2017
- 8 min read

Merantau adalah hal yang lumrah dialami oleh semua orang, apalagi ketika lulus dari SMA.
Kali ini gue akan membahasnya.
First thing first, I want to let you all know that I raised in Bekasi, a small town near Jakarta. Dari kecil, bisa terbilang gue hidup dengan nyaman dan berkecukupan. Sekolah di Al-Azhar dari TK (Taman Kanak-Kanak) sampai gue SMA (Sekolah Menengah Atas). Temen-temen gue pastinya nggak begitu bertambah secara signifikan, hanya itu-itu saja. Otomatis 70% yang gue kenal adalah yang sudah sekolah satu gedung dengan gue lebih dari 3 tahun (paling minimal).
Sekolah gue yang monoton itu lokasinya juga dekat sama rumah gue, disebuah perumahan Kemang Pratama. Naik ojek hanya bayar Rp 10.000,- hingga Rp 15.000,- sedangkan jika menaiki becak juga hanya membayar Rp 15.000,- hingga Rp 20.000,- (mungkin sekarang harganya sudah berubah). Kemang Pratama dilengkapi berbagai fasilitas, dari mulai minimarket, ruko, tempat bimbel, salon, tempat makan dan nongkrong, tempat fitness sekaligus kolam renang dan lapangan golf, dan yang terpenting adalah tiga buah nama sekolah dari jenjang TK sampai SMA! Kurang enak apa? Untuk urusan mall dan rumah sakit, jaraknya juga dekat dengan perumahan Kemang Pratama, kok. Nggak perlu khawatir.
Karena wilayah tempat gue tinggal sangat nyaman, enak, dan gue selalu dikelilingi oleh teman-teman yang gue kehendaki....it become a disaster when it comes to high school's graduation day. Guess why? Pastinya karena gue dibayang-bayangi oleh ketakutan hidup sendiri selama kuliah. Gue harus ngekost yang artinya tidur sendiri, makan sendiri, belanja bulanan sendiri, nyapu, ngepel, cuci baju, cuci piring, ngatur keuangan...dan yang paling menakutkan dari semuanya adalah KENAL DENGAN ORANG BARU!
It was never been easy for me, meski gue selalu mencoba yang terbaik dan berusaha keluar dari sifat buruk itu, tetep aja dong rasa takut (yang sangat manusiawi) pasti bakal menghantui malam-malam gue sebelum tidur dan memulai aktivitas bertempur di bimbel demi masuk PTN (Perguruan Tinggi Negri) yang di impi-impikan semua pengangguran pasca lulus SMA tiap tahunnya. Gue pun memulai untuk membuka diri lebih jauh di bimbel, karena kebetulan gue satu kelas dengan orang-orang yang nggak gue kenal sebelumnya. Mereka berasal dari sekolah lain. Quite challenging, isn't it? Akhirnya gue mampu, oh iya and fyi, meski gue mengejar PTN, gue juga kebetulan mencoba peruntungan tes di beberapa universitas swasta yaitu BINUS dan Atmajaya. Meski gue ambil IPA di SMA, tapi untuk kuliah di swasta gue lebih tertarik untuk belok ke rumpun SOSHUM atau IPS, gue ambil HI di BINUS lewat jalur beasiswa dan alhamdulillah keterima. Sedangkan di Atmajaya, gue ambil jurusan Psikologi dan alhamdulillah juga gue keterima. Cadangan sudah lengkap. Tinggal lanjutin tempur untuk mendapatkan PTN.
Kita percepat aja ceritanya ya!
Akhirnya hari pengumuman SBMPTN datang. Jujur, gue sudah cukup sakit hati dan terpukul saat pengumuman SNMPTN kemarin, sehingga gue benar-benar gak mau kecewa lagi di SBMPTN. Dua jam sejak pengumuman online berlalu, semua group LINE sudah ramai mengucapkan selamat pada yang beruntung ataupun menyemangati yang belum beruntung. Gue pun komat-kamit melantunkan semua doa yang gue inget demi meredam rasa ‘deg-degan’ gue......gue scroll down, gue memejamkan mata. Inhale-exhale, gue mengucapkan ‘bismillah’ dan gue membuka mata gue.....GUE KETERIMA!!! Gue gak lihat begitu jelas gue kuliah dimana nanti, gue hanya lihat kata-kata "Perikanan" dan "Brawijaya". Gue langsung melompat ke kamar nyokap, "MAAA AKHIRNYA KETERIMA DI BRAWIJAYA YANG PERIKANAN ITU MAAAA!!!" dan nyokap ikutan lompat-lompat (jujur, disitu gue merasa seperti Dora dan Boots yang kesenengan berhasil mengusir Swiper).
Gue pun dengan mantap melepas universitas swasta yang udah berbaik hati menerima gue. Gue yakin gue sanggup hidup di Malang. Awalnya yang ada di otak gue adalah "asik, bisa sering naik pesawat pulang-pergi! asik, bisa bebas, asik Malang dingin! asik pokoknya asik!" dan entah gue gak punya pikiran negatif sama sekali atau ragu untuk milih kuliah di Jawa Timur. Padahal gue gak bisa bahasa jawa sama sekali.
Saking semangatnya, gue berangkat ke Malang sekitar 5 hari sebelum ospek mulai. Gue juga kebetulan janjian satu kost sama temen SMA gue namanya Puput, dia akan kuliah di fakultas Hukum, kamarnya disebelah kanan gue. Mulanya gue ngerasa mudah adaptasi, karena isi kostan gue adalah anak Jabodetabek semua. Which is easy for me to communicate with them in common languange such as "gue-elo" thing. Di kamar kiri gue ada Riska dari FISIP yang kebetulan bukan dari Jabodetabek, tapi dari Purwokerto, but she has no javanese accent seperti yang gue pikirkan. Yang membedakan adalah dia bicara pakai "aku-kamu". But I still can work with that, nggak sulit bagi gue kalau hanya ber-aku-kamu....selama ini kalau pacaran kan pakai "aku-kamu" juga (HAHAHAHA). Di sebelah kanan kamar Puput, ada Fia dari FISIP juga dan sekelas sama Riska, dia dari Depok. Jadilah kita berempat memulai adaptasi sebagai MABA yang akan hidup di Malang dengan jalan-jalan jelajah mall sambil belanja keperluan kostan menaiki angkot.
It was easy at first, until the "ospek" finished and the new routinity as student college began. Kebetulan gue satu kelas sama seorang teman lama bernama Tri (dia laki-laki) yang dulu sempat satu sekolah dengan gue dari TK hingga SMP. Lucunya lagi, kita pernah satu band dan dulu kita sangat gak akur di band tersebut. Gue sangat bersyukur bisa sekelas sama Tri, setidaknya gue sudah nabung satu orang teman (tentu teman gue banyak, tapi saat ospek biasanya lo akan cenderung dikenalkan dengan teman yang berbeda program studi) di program studi gue, prodi for short.
Hari pertama mulai, gue mulai berkenalan sama seorang teman bernama Nisa dari Trenggalek. Kulitnya macam orang Bandung, tapi aksen jawa nya sangat kental. Kemudian kenal dengan Afid dan Miss yang asli Malang, Dinda dari Blitar, Aura dan Cosi dari Depok, Ade dari Mojokerto, Alif dari Bandung, Bayu dari Bojonegoro, Dhenry dari Medan, Raka dan Otem dari Tangerang. Oke kira-kira itu yang gue inget, yang gak kesebut maaf hehehehe. Lanjut!
Dari nama-nama diatas yang gue kenal baik, yang sekelas dengan gue hanya Tri, Bayu, Dhenry, Alif, Nisa, Afid, Miss, Ade, dan Dinda. Sisanya adalah anak kelas sebelah. Gue nggak ngerti sama sekali bahasa jawa, yang gue tahu hanya "janc*k" HAHAHA, itupun itu gak ngerti artinya apa. Hari kedua, hari ketiga, gue masih betah gak ngomong dan cuman ketawa-ketawa sok ngerti mendengarkan ocehan teman-teman gue yang dari jawa. Tapi hari keempat, gue gak tahan....gue sangat nggak bersemangat.
Gue benar-benar gak punya teman untuk diajak berbahasa Indonesia selain Tri. Tapi Tri yang memang keturunan jawa dan mengerti bahasa jawa (meski untuk ngomongnya dia nggak bisa) berusaha blend in dengan anak-anak lain. Alhasil, gak sengaja gue memasang ekspresi dan mimik jutek ke mereka yang mencoba ngajak gue kenalan ataupun berusaha membuat gue merasa nyaman. But instead of getting comfortable, gue malah kecewa dengan keadaan sekitar gue saat itu. Setelah gue sharing dengan teman-teman gue dari Al-Azhar yang kuliah di Brawijaya, ternyata memang fakultas lauk-pauk (sebutan akrab untuk FPIK, FAPET, dan FP) biasanya penghuni terbanyaknya berasal dari kota di Jawa Timur, berbeda dengan FEB, FISIP, FH, FK dan FT yang masih dihuni sama anak Jabodetabek nggak kalah banyak dengan yang berasal dari kota-kota di Jawa Timur.
*Anyway, disini gue gak bermaksud rasis, sok elit atau merendahkan siapapun. Gue hanya sekedar sharing mengenai apa yang gue rasakan selama awal kuliah disini*
Gue beberapa kali mencoba ikut berbahasa jawa tapi gagal. Malah berakhir dengan diketawain atau dikasihani....sucks! Tapi gue tetap mencoba, setelah gue pikir-pikir harusnya gue semangat belajar bahasa jawa, karena sekarang dan untuk tiga tahun kedepan disinilah gue bakal hidup untuk cari ilmu dan dapat gelar sarjana. Lama-lama pun mereka mau dengan sabar mengajari gue berbahasa jawa. Dan yah, meski sampai detik ini gue belum mahir dan dapet aksen kentalnya, setidaknya gue bisa paham apa yang mereka omongin. Karena, dosen di fakultas gue juga kadang menggunakan bahasa jawa buat mencairkan suasana kelas, dan gue kadang harus memalsukan suara tawa gue agar dikira mengerti.
Jujur saja memang ada beberapa teman gue yang asli berasal dari Jawa Timur, sedikit underestimate terhadap setiap mahasiswa yang berasal dari Jabodetabek dengan menganggap kami berwatak sombong dan sebaginya, padahal kami selalu berusaha membaur semampu kami tanpa membeda-bedakan darimana kami berasal. Kenapa gue bisa beranggapan begitu? Bukan tanpa alasan, tapi kelihatan dari cara mereka bicara dengan kami, seperti terbatas, dan somehow berusaha menghindar untuk gak berteman teralu dekat. Seolah kami yang dari Jabodetabek selalu anak bandel yang begajulan dan akan membawa pengaruh buruk buat culture mereka atau etika orang jawa yang kental dengan sifat lemah lembut serta sopan.
Kemudian beberapa teman gue yang berasal dari Jabodetabek juga jadi malas membaur dan memilih untuk cari teman yang berasal dari wilayah yang sama. Setidaknya dengan begitu, mereka lebih merasa dihargai dan nyambung ketika ngobrol. Alhasil, memang terkenal di semua universitas pasti akan ada kubu yang isinya adalah orang-orang yang berasal dari daerah yang sama saat sebelum datang ke Malang. Sebagai contoh yang paling nyata adalah saat semester dua didirikan ekskul tari Ratoeh Jaroe dari Aceh di lembaga semi otonom bernama PESIAR (isinya adalah ekskul berbau seni dari mulai lukis hingga teater). Pelopor pendirinya memang senior gue dari Bekasi dan Tangerang. Dan tari Ratoeh Jaroe sendiri memang lebih terkenal di daerah Jabodetabek ketimbang di kota-kota Jawa Timur. Alhasil, peminatnya meledak saat awal-awal. Semua mahasiswi yang ingin belajar maupun udah bisa nari Ratoeh Jaroe join latihan.
Gue sendiri join karena memang gue mampu menari (gue ikut ekskul Ratoeh Jaroe selama SMA). Sebulan pertama, latihan tari benar-benar rutin, aman terkendali dan peminatnya bertambah terus. Just so you know, learning Ratoeh Jaroe needs at least two months, it takes a lot of time, sehingga kalian gak bisa berharap untuk cepat mahir. Kami latihan hanya dua kali dalam seminggu, itupun gak pernah full team. Lama-lama latihan semakin sepi, banyak yang menyerah karena merasa gak mampu buat belajar lebih giat, padahal seperti yang gue bilang "it takes a lot of time". Tapi mereka gak sabaran dan sepertinya entahlah rasanya seperti ada hal lain yang menghambat perkembangan mereka.
Tersisalah 19 orang yang bertahan. Kami pun rutin latihan dan mampu berkomitmen, hingga diundang tampil buat acara Closing Ceremony Dekan Cup 2016, itu adalah salah satu pencapaian kita yang berhasil sekaligus memperkenalkan tarian ini di mata orang-orang Jawa Timur. Dan suatu hari sebelum gue tampil, ada beberapa orang teman dekat gue di organisasi BEM yang penasaran dengan tarian Ratoeh Jaroe. Sambil nunggu rapat kementrian PSDM saat itu, gue dengan sukarela mau mengajari mereka beberapa gerakan dasar.
Mereka antusias dan senang, lantas gue tawari untuk join. Jawaban salah satu teman gue adalah "itu Jabodetabek semua kan ya Nes yang ikut?" yang tadinya gue senyum-senyum bangga bisa membuat mereka interest, senyum gue hilang seketika.
Hening. Gue mencerna pertanyaan dia yang sangat simple. Gue akhirnya menjawab sekenanya dan tiba-tiba gak napsu lagi buat lanjutin perbincangan soal tari Ratoeh Jaroe. Ternyata, kalau gue nggak salah menilai, selama ini mahasiswi yang tadinya join dan jadi ilang gak jelas bukan hanya males, gak sabar, dan sebel sama gerakannya yang rumit...tapi juga karena rata-rata yang menguasai gerakan tarinya adalah mahasiswi Jabodetabek! Dan 19 orang yang tersisa itupun 18 orang berasal dari Jabodetabek dan 1 orang dari Pasuruan.
I mean like...come on! Mau sampai kapan membatas-batasi diri terus dengan perihal "darimana kamu berasal"? Itu bukan hal yang harusnya diperebutkan lagi, diribetkan lagi, kenapa kita sebagai mahasiswi tidak bisa bersikap santai seperti mahasiswa? Mahasiswa jatohnya lebih mudah membaur dan sama-sama mengkesampingkan urusan "darimana kamu berasal" ketimbang mahasiswi, karena perempuan memang cenderung mengkotak-kotakkan sesuatu. Sedangkan laki-laki enggak. Mau sampai kapan seperti gitu? Percayalah, nantinya hidup lo akan useless!
Pernah juga seorang teman gue marah di group karena gak ngerti bahasa jawa. Menurut gue pribadi, meski gue juga gak ngerti bahasa jawa...but why don't we try to learn instead of just give up and pissed off?
So please, bagi tuan rumah (mahasiswa yang berasal dari daerah Jawa Timur) mohon bisa lebih menerima kami para perantau dan nggak underestimate duluan terhadap lifestyle atau aspek apapun yang selama ini ada didalam kepala kalian bahwa kami ini nggak capable of blending in with others? Oke, maybe most of us bersikap gak ramah ke kalian atau sombong atau apapun itu, tapi nggak semuanya seperti itu kok...
Dan untuk para perantau darimanapun kalian entah Jabodetabek, entah luar pulau...mohon tumbuhkan rasa ingin tahu kalian lebih jauh dan mau belajar bahasa jawa sekaligus menghormati sang tuan rumah dengan bersikap sewajarnya, nggak teralu mencolok dan terkesan mengekslusifkan diri dari kelompok atau ras atau suku lainnya. Kita semua sama, kita semua satu fakultas, dan sudah mahasiswa juga. Sudah seharusnya pola pikir kita sama-sama di upgrade dan bantu satu sama lain buat nggak skeptis lagi.
Gue pribadi memang belum sempurna juga dalam bersosialisasi dengan lingkungan gue yang baru dan paham dengan bahasa jawa atau bahkan mahir. Tapi setidaknya gue selalu mencoba ramah, dan give them an open hand buat jadi teman gue tanpa merasa meninggikan atau menjatuhkan satu sama lain, bahwa kita disini sama. Yang nantinya bakal jadi keluarga selama di Malang, saling tolong-menolong selama kuliah ataupun selepas kuliah.
Start the move and erase the discrimination between us!
Yours sinceraly, V-A.
Comentarios